Happy Hello Kitty Kaoani

Tidak Diizinkan Klik Kanan Untuk Copy Paste !!!

Minggu, 04 Desember 2016

Festival Banjir atau pun Festival Minyak, Mari Tetap Tersenyum

Minggu, 04 Desember 2016 12:00:48 Festival Banjir atau pun Festival Minyak, Mari Tetap Tersenyum Oleh: Nanang Fahrudin

Festival demi festival digelar di Kabupaten Bojonegoro. Sependek ingatan saya, sudah banyak digelar festival mulai festival Bengawan Solo, Festival Batik dan Tenun, dan sekarang Festival HAM. Hak Asasi Manusia. Sebagaimana arti festival adalah sebuah perayaan, maka festival-festival yang digelar Pemkab adalah sebuah perayaan masyarakat Bojonegoro.

Merayakan apa? Itulah yang sering menjadi perbincangan di mana-mana. Di media sosial apalagi, perbincangan begitu riuh. Apa saja dikomentari. Bahkan ada yang nyeletuk untuk membuat Festival Banjir. Pasalnya, dari dulu sampai sekarang, banjir luapan bengawan solo tak kunjung hilang. Setiap ganti penguasa daerah, isu banjir coba untuk diatasi. Berbeda setiap pemimpin, tapi kenyataannya, banjir tak juga hilang.

Nah, guyonan Festival Banjir ini menarik untuk diamati. Pertama, boleh jadi guyonan ini bermakna sebuah ejekan atau lebih tepatnya kritikan kepada pemkab yang tak mampu mengatasi banjir. Bengawan Solo memang membelah hampir semua kecamatan Bojonegoro wilayah utara. Tapi meski demikian, apakah banjir benar-benar tidak bisa diatasi? Apakah sudah pada tahap mustahil, sebagaimana mustahilnya mengubah pohon mangga menjadi pohon pisang?

Banjir Bengawan Solo di Bojonegoro memang bukan persoalan sepele, dan tidak bisa diselesaikan hanya oleh Pemkab Bojonegoro saja. Karena bengawan solo membentang di dua provinsi, yakni Jawa Tengah (Solo) hingga Jawa Timur (Gresik). Tapi, pemkab bisa saja menjadikan isu ini sebagai isu lintas daerah yang harus dipecahkan bersama-sama.

Dulu pernah ada upaya seorang Bupati di Jawa Tengah (saya lupa bupati mana) yang menyusuri sungai Bengawan Solo untuk menggalang kekuatan, menyatukan tekad untuk mengatasi banjir bengawan solo. Bupati itu mampir ke Bojonegoro juga. Sedang, Bupati Bojonegoro sejak masa HM Santoso juga sudah mewacanakan untuk mengatasi banjir. Tapi, sampai saat ini banjir besar tetap saja tidak bisa dicegah. 

Bupati Suyoto pernah mewacanakan "harmoni dengan banjir". Bahkan, wacana sempat diutarakan di stasiun televisi saat Kang Yoto hendak maju berebut kursi Gubernur DKI. Wacana itu sempat jadi guyonan juga oleh pembawa acara, karena bagaimana mungkin warga Jakarta yang rasional pragmatis diminta bisa berharmoni dengan banjir? Karakter sebagian besar warga Jakarta adalah orang-orang yang mengejar kemapanan.

Kembali ke guyonan Festival Banjir tadi, makna kedua adalah warga korban banjir mencoba menguatkan diri dengan guyonan. Ini memang khas masyarakat Jawa di pedesaan. Semua diliihat dari kacamata ringan, jadi bukan dijadikan beban yang berat. Banjir yang harusnya sebuah bencana, ditangkap sebagai suatu yang biasa-biasa saja dan tidak perlu sampai lupa makan atau tidur. Mungkin inilah makna hidup sumeleh, yang banyak dipraktikkan oleh orang-orang Jawa, sadar atau tidak.

Sumeleh adalah rasa syukur yang tiada batas. Saya masih ingat ketika waktu kecil, nyamuk di rumah begitu banyaknya. Obat nyamuk dinyalakan, selimut dipakai, tapi mbah saya berujar sederhana: lha nek nyamuk gak oleh nyucup geteh, lha terus mangan ko endi?" Ini sungguh lucu, tapi begitulah guyonan itu muncul dengan polos dan refleks begitu saja.

Jadi, dengan guyonan Festival Banjir, warga korban sebenarnya sedang menguatkan diri mereka sendiri. Bahwa banjir yang melanda sekarang, belumlah musibah besar, karena ada musibah yang lebih besar lagi. Apa itu? Setiap orang punya konsepsi masing-masing, tapi yang jelas ada kesamaan cara pandang untuk sumeleh dan kuat menerima musibah.

Tapi dengan watak masyarakat yang sumeleh tersebut, bukan berarti Pemkab Bojonegoro diam saja dan sekadar mengumbar wacana. Ada banyak persoalan Bengawan Solo yang perlu menjadi isu nasional dan dipecahkan bersama-sama. Cara pandang bahwa Bengawan Solo adalah sumber budaya yang harus dilestarikan belum dimiliki banyak pihak. Pemkab juga belum mampu menyetop perusakan lingkungan oleh mesin-mesin penyedot pasir. Pembangunan jembatan yang membelah bengawan solo, di satu sisi memang berdampak pada ekonomi, namun pada sisi lain juga mengakibatkan budaya-budaya bengawan solo makin hilang, dan kecintaan pada sungai juga terus terkikis.

Pemkab seharusnya mampu menjadikan isu banjir bengawan solo menjadi isu nasional yang harus diselesaikan dengan cepat. Jangan sampai kerugian akibat banjir terus membesar dari tahun ketahun. Warga Bojonegoro harus punya hak hidup nyaman dengan alamnya. Jangan sampai banjir hanya menjadi bahan diskusi yang tak pernah selesai.

Oh ya, kembali pada festival-festival yang digelar di Bojonegoro, yang bermakna sebuah perayaan, sepertinya minyak perlu untuk dirayakan. Sehingga, kenapa tidak membuat Festival Minyak Bojonegoro? Atau, apakah memang masyarakat Bojonegoro tidak bahagia dengan minyak, sehingga tidak patut dirayakan? Atau sudah ada yang merayakan, tapi kelompok kecil saja? Entahlah. Mari membuat guyonan saja. Hidup ini sudah kelewat serius. Ya nggak? 
Comments
0 Comments
1458674257781522/' property='fb:admins'/>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar