Jumat, 13 Januari 2017 09:00:06
Oleh: A. Farid Fakih*)
Kurun awal tahun kerap menjadi permulaan yang menarik di bidang
pendidikan, terkhusus di jenjang SMA dan sederajat hingga Perguruan
Tinggi. Pada masa-masa itu, acap kali siswa dituntuk untuk mempersiapkan
aspek penting sebelum melangkah ke dunia perkuliahan atau dunia kerja.
Tak melulu di situ saja, di pihak mahasiswa juga tak kalah heboh.
Mahasiswa, terutama yang mengenyam pendidikan Perguruan Tinggi di luar
Bojonegoro, yang tergabung di Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada),
rata-rata sibuk mempersiapkan momen untuk sosialisasi kehidupan kampus
di sekolah-sekolah.
Beberapa Ormada yang penulis ketahui, sering menyebutnya sebagai
briefing atau penjelasan singkat mengenai kehidupan kampus di mana
Ormada tersebut berada. Tak jarang, agenda tersebut juga sebagai
momentum mahasiswa untuk mempromosikan keunggulan dan kelebihan kampus
masing-masing. Berbagai jenis profit pun ditawarkan. Mulai dari sistem
pendidikan yang mudah, aneka beasiswa yang melimpah, hingga akses yang
mudah digelontorkan kepada siswa dengan tujuan siswa tersebut kelak bisa
memasuki perguruan tinggi.
Di pusat-pusat kota, cara seperti ini tergolong ampuh. Sebab, banyak
dari siswa memang berorientasi untuk melanjutkan pendidikannya ke
jenjang yang lebih tinggi. Akhirnya, tingkat keberhasilan dari program
briefing atau sosialisasi kampus amat besar. Maka dengan terjadinya hal
ini, semakin membuat para pegiat mahasiswa daerah terpacu untuk
melakukan hal serupa di tahun berikutnya. Tentunya dengan cara yang
dimodifikasi sedemikian rupa, agar materi yang disampaikan membuat siswa
antusias untuk memasuki kampus yang dipromosikan.
Namun, berbeda halnya ketika yang disasar adalah sekolah-sekolah yang
kurang popular atau yang berada di sudut-sudut desa. Tantangan yang
terjadi sangat besar. Bukan hanya soal siswa yang diharapkan mendaftar
ke perguruan tinggi yang dimaksud, namun juga soal menciptakan rasa
optimisme kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Sepengalaman penulis, di sekolah yang berada di desa,
tingkat minat siswa untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi
tidak selaras dengan siswa yang bersekolah di pusat kota. Banyak dari
siswa yang lebih suka untuk menikah, atau bekerja dibanding berkuliah.
Keadaan tersebut diperparah dengan pemahaman orangtua yang masih minim
dengan pentingnya pendidikan tinggi. Banyak yang beranggapan bahwa
kuliah ialah soal biaya semata dan juga kenaikan pangkat seseorang
karena telah memiliki titel ketika lulus nanti. Di samping itu,
orientasi kuliah juga berbeda. Umumnya keinginan kuliah ialah didasari
karena ijazah di Perguruan Tinggi lebih menjanjikan di dunia kerja.
Akibatnya ketulusan belajar pun seakan tenggelam oleh berbagai hal yang
mendera itu.
Tantangan tersebutlah yang dimanfaatkan para pegiat mahasiswa yang
terjalin di Ormada untuk condong menunjukan kemudahan di dunia
perkuliahan. Banyak, misalnya, yang mengagungkan beasiswa Bidikmisi
sebagai cara ampuh untuk memikat siswa dan orangtua agar bisa menempuh
ke jenjang pendidikan tinggi. Dengan cara ini, siswa diajak untuk
berpikir financial effect ketika berhasil menempuh dunia perkuliahan.
Dengan kata lain, siswa dijanjikan pendapatan uang saat bisa lolos
menerima beasiswa yang dimaksud. Namun, kebanyakan dari jenis
sosialisasi macam ini berakhir pada tahap ini semata. Terkesan kurang
ada jalan yang menjanjikan lainnya yang bisa ditempuh siswa di dunia
perkuliahan.
Dampak dari cara sosialisasi tersebut, siswa yang bersekolah di desa
kerap minder untuk melanjutkan perjuangan meniti kampus harapan, karena
gagal meraih beasiswa yang diincar. Lalu, target yang diusung oleh para
pegiat Ormada agar siswa bisa melanjutkan kuliah, menjadi pupus tak
terbentuk. Hal inilah sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan yang
kian waktu semakin berlarut-larut. Bahkan lambat laun, masalah ini
diperparah dengan menjadikan agenda sosialisasi kampus sebagai ajang
pamer pegiat Ormada atas kampus asalnya. Tentunya hal ini sangat
berbahaya jika didiamkan. Sebab justru akan menjadi boomerang semua
pihak.
Pola mindset yang berbeda.
Pada era kekinian, tantangan yang semestinya dipikir dan digalakkan
bersama ialah mengubah mindset dan persepsi siswa di kota dan desa
perihal meniti perguruan tinggi. Pola pikir yang sejatinya ditebarkan
ialah kuliah sebagai ajang memperoleh kesejatian diri dalam meraih,
mengelola, dan memberdayakan keilmuan di bidang masing-masing terhadap
bangsa dan negara. Bukan justru sebagai ajang kenaikan “kasta” semata.
Di samping itu, kuliah perlu dipahami sebagai media berbakti pada nusa
bangsa. Yakni dengan cara serius mempelajari ilmu yang kemudian, kelak
ketika lulus, dibagikan kepada pihak-pihak yang kurang beruntung tidak
bisa menikmati pendidikan tinggi.
Dalam teori Maslow tentang Hierarki Kebutuhan, ajang kuliah bisa
dijadikan sebagi media aktualisasi diri kepada sekitar. Bukan malah
menjadikannya sebagai ajang, siapa yang paling bagus satu sama lain.
Kelak, dengan telah menebarnya pemahaman-pemahaman demikian, penulis
yakin bahwa nanti akan ada banyak siswa yang terpikat untuk berkuliah
tanpa ada embel-embel financial. Namun lebih kearah kesadaran sosial
menjadi mahluk Tuhan yang memang membutuhkan ilmu untuk kelak dibagikan
kepada sekitar. Lain daripada itu, siswa juga akan lebih terlahir
menjadi mahasiswa yang seutuhnya. Yakni mahasiswa yang memegang teguh
kepeduliannya terhadap agama bangsa, negara. Wallahu ‘a’lam bhissawab.
(*)
Bojonegoro, Januari 2017
*)Penulis adalah Alumnus MAM 2 Banjaranyar, Baureno. Kini sedang menempuh pendidikan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.
Official Fans Page : Rudi Toro Setiawan || Twitter : @rudi_toro_setia || Instagram : ruditorosetiawan || Path : Rudi Toro Setiawan || Line : ruditorosetiawan || Smule : ruditorosetiawan || Skype : 087805875504 || Talk : 08124923415 || Pin BBM : D59CE469 - D5B7E68B || HP : 0812-492-3415 - 0815-504-4526 - 0823-0132-1730 || E-mail : rudi.bojonegoro@yahoo.com
Tidak Diizinkan Klik Kanan Untuk Copy Paste !!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)