Senin, 30 Januari 2017 14:00:04
Pengirim: Pengirim: Diffaryza Zaki Rahman*
blokBojonegoro.com - Kang Anang, lahir di Kabupaten Bojonegoro,
tepatnya 30 Agustus 1971. Pemilik nama lengkap Dr. Ir. H. Anang
Sedyohutomo, M.Eng itu terkenal pendiam, tetapi ia mengakui suka usil.
Anak pertama dari tiga bersaudara itu sejak kecil menurut cerita orang
tuanya sangat aktif. Bahkan, ketika baru bisa duduk saja, ia sempat
membuat ayahnya kebingungan, karena sempat tercebur di air saat rumahnya
kebanjiran.
“Ketika saya bayi dan mulai bisa duduk, ayah saya menggendong lalu
menaruh dan meninggalkan saya sendirian di atas meja makan. Saat itu di
rumah kakek terkena banjir bengawan hingga masuk rumah dan setinggi paha
orang dewasa. Ketika sendirian dan ayah pergi ke dapur, saya terjatuh.
Beruntunglah ayah menemukan saya dalam kondisi lemas karena banyak minum
air,” kata Kang Anang memulai cerita masa kecilnya sambil tersenyum.
Karena sifat pendiamnya itu, sang ibu sempat khawatir jika suatu saat
tidak bisa mendapat teman di sekolah. Sehingga ibu mengajarkan cara
mendekati teman baru. Ketika duduk di Sekolah Dasar (SD) saya tidak suka
belajar dan membaca. Pernah ketika ujian ditanya, genteng terbuat dari
apa? Ia jawab dari kereweng (pecahan genteng). Terus, kecap terbuat dari
apa? Ia lagi-lagi menjawab aneh, katanya dari laron. Sebab, ketika itu
kecap terbanyak mereknya laron.
“Ditanya lagi, tahu terbuat dari apa? Saya jawab dari air. Sebab, saya
membayangkan saat itu tahu selalu dijual dengan rendaman air,” terangnya
sambil terkekeh.
Ia sempat sekolah di SDN Kadipaten 3, namun hanya dua tahun saja,
karena setelah itu pindah ke SDN Kepatihan, Kota Bojonegoro yang secara
jarak lebih dekat dari rumah. Disinipun, semangat belajar tidak ada.
Hingga setiap penerimaan buku rapor selalu ada satu nilai merah dan
pernah sekali nilai merah terdapat dua. Kang Anang mengaku belajar
ketika mengerjakan PR, dan lebih sering bermain di lapangan, mulai
layang-layang dan lain sebagainya.
“Prinsip saya saat itu yang penting bisa naik kelas. Meskipun malas
belajar, tetapi ternyata saya memiliki rasa tanggungjawab tinggi sejak
kecil. PR harus dikerjakan, datang ke sekolah tidak boleh terlambat,
barang yang harus dibawa tidak boleh ketinggalan, dan tidak suka libur
sekolah, walau sedang sakit atau ada kepentingan keluarga,” tambahnya.
Pemalu dan tidak percaya diri, ia bawa sampai ke tingkat SMP. Karena,
ketika ikut ujian masuk SMPN 1 Bojonegoro, yang tanpa diduga ternyata
dirinya berhasil diterima. Sifat pemalunya bertambah menjadi-jadi.
Justru ia semakin pendiam dan menjadi takut bertemu orang, bahkan lebih
banyak mengurung diri di rumah. Setiap tidak sekolah, aktivitas yang
dilakukan bersama orang tua dan adik-adik, daripada dengan teman-teman
sekolah.
“Apalagi saya harus bantu ayah mengolah pasir dan semen untuk membangun
rumah sendiri tanpa tukang ketika itu. Yang sedikit membanggakan, nilai
matematika saya sering bagus dan ketika ujian nasional nilai matematika
saya 10 dan di Bojonegoro hanya ada dua siswa,” jelasnya.
Ketika proses masuk SMAN 1 Bojonegoro, ia sangat mulus. Karena, ketika
itu sudah diberlakukan seleksi dengan NEM. Nilai NEM Kang Anang
tergolong menengah ke atas sehingga dapat diterima di SMAN 1 Bojonegoro
dengan mudah. Di sekolah tersebut, sifat pemalu yang sejak kecil ada
pada dirinya, perlahan mulai terkikis. “Saya mulai gemar bergaul bersama
dan masuk dalam kegiatan ekstrakulikuler Pramuka, PMR, komputer, dan
lain-lain. Walau tidak sampai menjabat dalam kepengurusan OSIS, namun
saya sering terlibat langsung dalam kepanitian di setiap kegiatan
skeolah,” tambahnya.
Selama di SMASA, oa sering mendapatkan nilai rapor yang memuaskan,
namun malas dengan pelajaran Bahasa Inggris. Kang Anang pernah dikirim
untuk mewakili SMASA ketika olimpiade Fisika tingkat nasional di
Yogyakarta, juga mewakili SMASA dalam lomba kejuaraan matematika. Ketika
lulus dari SMASA tahun 1990, ia mempuntai tekad bisa masuk Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) tanpa membebani orang tua. Nyalinya sempat menciut,
saat melihat banyak teman persiapan dengan mengikuti les, training dan
lain-lain. Dirinya yang tidak ingin membenani orang tua, memilih belajar
sendiri.
“Walau saya sempat kehilangan percaya diri untuk bisa berhasil dalam
UMPTN, tapi Alhamdulillah saya justru diterima di ITS jurusan Teknik
Elektro sebagai pilihan pertama saya. Namun saya tidak puas diterima di
ITS karena tentu masih membebani orang tua dengan biaya kuliah. Saya
coba dengan mengikuti tawaran-tawaran beasiswa seperti STAN Keuangan,
Patigat Gajah Tunggal, dan beasiswa B.J Habibie Program STAID,” ingat
Kang Anang.
Kesempatan pertama mengakses di STAN Keuangan gagal, karena nilai
Bahasa Inggris terlalu rendah. Namun ia diterima dengan beasiswa Patigat
Gajah Tunggal, sehingga ITS ditinggalkan. Mendengar kabar tersebut,
dirinya dimarahi guru Fisika SMASA saat berkunjung ke sekolah untuk
legalisir ijazah. Meninggalkan Teknik Elektro ITS itu berarti
menghilangkan kesempatan emas kata guru tersebut. Namun karena masih
tetap menginginkan kuliah dengan beasiswa, akhirnya ia tetap mengikuti
program pendidikan beasiswa Patigat Gajah Tunggal.
Selama sebulan mengikuti pendidikan di Patigat secara parallel,
sebetulnya ia masih mengikuti sisa tahapan test beasiswa B.J. Habibie
Program STAID yang dilaksanakan serentak secara nasional. Waktunya
lumayan lama, sebab berlangsung 7 tahapan tes dengan sistem gugur dan
memakan waktu total hampir 3 bulan. Informasinya, yang mengikuti test
sejak tahap pertama sekitar 15.000 orang. Ketika itu saya mengikuti test
tahap 1 di Gelora 10 November Surabaya bersama banyak teman-teman
lulusan SMASA Bojonegoro.
“Hasil akhir selama 7 tahapan tes saya dinyatakan lulus bersama dengan
114 orang lainnya. Mereka inilah yang akan dikirim ke negara-negara maju
seperti Jerman, Jepang, Amerika, Belanda, Inggris, Perancis dan
Australia. Disinilah saya merasa mendapat keberhasilan paling tinggi
dalam hidup, karena bisa mendapatkan beasiswa tingkat nasional dan
dikirim sebagai duta bangsa untuk mengenyam Perguruan Tinggi di luar
negeri,” kenangnya bangga.
Pilih Beasiswa ke Jepang
Diterima di program B.J. Habibie, beasiswa Patigat Gajah Tunggal
ditinggalkan. Sebab, sebelum berangkat ke Jepang, dirinya harus kursus
bahasa. Disaat bersamaan, dilakukan pula ujian masuk Perguruan Tinggi
Jepang yang dikelola langsung Mobukagakusho (Dinas Pendidikan) Jepang.
Dari 45 orang calon yang akan diberangkatkan ke Jepang ada 10 orang yang
gagal dalam ujian tersebut. Dirinya termasuk yang lolos, sehingga
secara resmi sudah diterima di Perguruan Tinggi Negeri Jepang, walau
masih tinggal di Jakarta ketika itu.
“Tepatnya pada tanggal 2 April 1991 saya bersama 45 orang lainnya
diberangkatkan ke Tokyo, Jepang. Dan selama 1 tahun kami harus menjalani
lagi sekolah Bahasa Jepang di Kokusaigakuyukai Nihongo Gakko di
Shinjuku Tokyo. Selain belajar bahasa, kami juga diperkuat di bidang
kimia, fisika dan matematika dengan istilah bahasa Jepang,” lanjutnya.
Ketika di Jepang, ia kuliah di Universitas Negeri Gfu yang teletak
sekitar 500 km arah barat Kota Tokyo. Yang diikuti adalah program
Bachelor Course selama 4 tahun dan kemudian meneruskan Master Course
selama 2 tahun dengan beasiswa lain dari Yayasan di Jepang. Hingga lulus
tahun 1998 ia pulang ke tanah air yang ketika itu terdapat kerusuhan 14
Mei 1998. Kondisi yang tidak menentu, tahun 2005 setelah pulang dari
ibadah haji bersama keluarga ia putuskan untuk ke Jepang supaya bisa
leluasa melakukan penelitian.
“Saya mengikuti ujian masuk beasiswa Monbukagakusho dan meneruskan
program Doctoral Course di Perguruan Tinggi yang sama. Sebelum masuk
dalam program Doctoral Course saya sempat menjadi Research Student
selama setengah tahun dan setelah masuk program Doctoral Course, selain
kegiatan riset saya dipekerjakan juga sebagai Teaching Assistance dan
juga sebagai Research Assistence di Perguruan Tinggi tersebut. Beberapa
penghargaan pernah saya terima selama program Doctoral Course diantara
Analytical Science Hot Article Award dan Asia Young Analytical Chemist
Poster Award,” sambungnya.
Lulus Doctoral Course tersebut, ia langsung bekerja di Lembaga
Penelitian dan Riset Pemerintah Daerah Gifu Jepang selama setengah tahun
sejak tahun 2009 sebelum akhirnya diangkat menjadi Assistance Professor
di Hamamatsu University School of Medicine sejak 2010 hingga saat ini.
“Hingga tahun 2016 ini, berarti secara total saya telah mengalami hidup
dan tinggal di Jepang selama 18 tahun. Dalam kehidupan sehari-hari saya
dan keluarga sering membaur dengan kehidupan masyarakat Jepang,
mengenalkan budaya Indonesia dan juga tentang Islam,” terang Kang Anang.
Walaupun lama di Jepang, ia masih teringat jelas bagaimana studi di
SMASA. Karena bukanlah tipikal orang yang ambisius dan aktif mencari
teman, ia awalnya hanya bergaul dengan sesama alumni SMPN 1 Bojonegoro.
Tampaknya Allah telah mentakdirkan bertemu dan berinteraksi dengan
mereka. Persahabatan dimulai karena kebetulan mereka menjadi teman
sekelas, ada juga karena teman se-ekstrakulikuler, teman sehobby dan
lain-lain. Dari persahabatan itu saya merasakan ada berbagai hal baru
yang secara alami diserap. Tanpa disadari sedikit demi sedikit waktu
selama tiga tahun di SMASA telah mengubah menjadi siswa yang hampir
serba bisa, termasuk mengubah kepribadian yang awalnya pemalu menjadi
pemberani.
Ada moto pribadi yang selalu dibawa, yakni “Tidak ada istilah
terlambat. Bila ingin menjadi baik, berkumpulah dengan orang-orang baik.
Jika ingin pandai, berkumpulah dengan orang-orang pintar dan jika ingin
soleh berkumpulah dengan orang-orang yang bertakwa.”
“SMAN 1 Bojonegoro adalah sekolah yang sangat berkualitas, dan itu
mungkin baru saya sadari setelah saya lulus dan bisa bersaing dengan
alumni-alumni SMA lain se Indonesia. Jadi, bagi yang masih belajar
disana, tetap semangat dan semakin rajin,” pungkasnya. [mad]
*Siswa SMAN 1 Bojonegoro dan Penulis Buku "Alumni Inspiratif SMANSA"