Kamis, 14 September 2017 09:00:35
Oleh: Nanang Fahrudin
Pertanyaan di judul tulisan ini bukan bermaksud membuat definisi ulang
siapa sih yang berhak menjadi bupati. Karena pertanyaan itu sudah
dijawab oleh UU Nomor 10 tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas
UU nomor 1 tahun 2015. Syarat sahnya menjadi calon bupati semua ada di
undang-undang.
Namun pertanyaan tersebut sekadar hendak memberi bobot lebih pada
hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang. Syarat jujur dan ikhlas
misalnya, tak mungkin ada dalam undang-undang. Karena hal itu terlalu
normatif dan sulit diukur oleh regulasi. Namun bagaimanapun syarat itu
wajib ada dalam diri seorang calon bupati. Jika tidak, maka mudah sekali
membayangkan apa yang akan terjadi kelak.
Memang, demokrasi memberi ruang gerak bagi siapa saja untuk maju
menjadi bupati. Tak ada larangan khusus bagi warga negara untuk maju
mencalonkan diri. Seorang guru dan pengusaha memiliki bobot sama dalam
hal administrasi pendaftaran. Siapapun dijamin undang-undang untuk
memperoleh hak memilih dan dipilih yang tentu sesuai dengan prosedur
yang ada.
Tapi benarkah syarat menjadi bupati hanya ada pada memenuhi syarat
administrasi, jumlah suara, dan kekuatan modal. Tentu saja tidak. Suara
dan modal (uang) memang menjadi syarat yang menjengkelkan. Bagaimana
tidak, ongkos politik kian hari kian menggila. Untuk memperebutkan
jabatan kepala desa saja bisa habis ratusan juta apalagi jabatan bupati?
Sebuah riset yang dilakukan oleh Lia Wulandari tentang Pilkada di Garut
tahun 2013 menunjukkan angka rata-rata biaya politik Pilkada mencapai
Rp 2 miliar. Angka ini makin meninggi jika kursi yang dipilih adalah
anggota DPR di Senayan. Karena biayanya bisa mencapai Rp 6 miiliar.
Memang, Kabupaten Garut memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk lebih
banyak dibanding Bojonegoro. Namun, ongkos politik dipastikan tidak
akan jauh berbeda. Karena persaingan yang makin ketat. Saat ini saja,
sudah lebih dari enam bakal calon yang namanya berseliweran di baliho
pinggir jalan, di media sosial atau di selebaran-selebaran.
Artinya, modal uang besar dalam tiap pilkada, tak terkecuali
Bojonegoro, tak bisa dihindari. Calon bupati membutuhkan modal yang
besar. Jika tidak, maka akan malah menyulitkan diri karena modal
diperoleh dari sumber yang sulit dicari keikhlasannya atau tanpa
berharap timbal balik. Seorang donatur sangat jarang berkorban
menyumbangkan hartanya untuk pilkada, kecuali ada “bagi hasil” nanti di
kemudian hari.
Oleh karena itu, berebut menjadi bupati bukan sekadar soal siap maju
atau tidak. Melainkan perlu mempertimbangkan banyak hal, diantaranya
uang. Jangan sampai seorang calon dikendalikan oleh pemilik modal hanya
karena si calon tak mempunyai modal sendiri sehingga harus bergantung
pada pemilik modal. Hal itu sama dengan menggadaikan masa depan
Bojonegoro di tangan pemodal. Ya kalau pemodalnya ikhlas, kalau tidak?
Di luar uang dan suara, ada hal mendasar yang seringkali dilupakan.
Mungkin semua orang mengakui bahwa hal itu penting, tapi benarkah sosok
semacam itu ada? Yakni amanah, ikhlas dan jujur. Kita seringkali
berprasangka buruk dulu, bahwa hanya malaikat saja yang punya kriteria
demikian. Sehingga, kriteria itu tak begitu dipersoalkan. Padahal itu
menentukan lima tahun ke depan saat ia memimpin Bojonegoro. Dan
bagaimanapun tingakatannya, tiga hal itu “wajib ‘ain” ada di diri calon
bupati.
Jika amanah, ikhlas, dan jujur dianggap terlalu idealis, maka syarat
lain yang perlu dimiliki calon bupati Bojonegoro adalah komitmen tidak
korupsi, hebat dalam visi pengelolaan keuangan, dan tentu saja
berkomitmen pada kebudayaan. Karena tantangan Bojonegoro kedepan
terbesar adalah bagaimana mengelola dana APBD yang makin besar. Syahwat
korupsi mudah muncul jika pemimpin tak punya komitmen anti korupsi.
Jadi, mencalonkan diri menjadi bupati Bojonegoro sah-sah saja. Tapi
sebaiknya si calon dan tim pemenangan mengukur diri terlebih dulu
tentang maslahat dan madhorot. Semua tidak harus dipaksa berada di
genggaman tangan. Karena jika gagal mengelola Bojonegoro ke depan, maka
nasib 1,5 juta warga Bojonegoro sedang dipertaruhkan. Tidak hanya lima
tahun saja, karena bisa jadi berdampak untuk masa depan selamanya.
Kita berharap bupati Bojonegoro ke depan adalah pilihan terbaik untuk masa depan rakyat Bojonegoro.