Minggu, 14 May 2017 11:00:56
Oleh: Nanang Fahrudin
Politik dan internet tak bisa lagi dipisahkan.
Begitulah era digital telah mempengaruhi semua bidang kehidupan, mulai
ekonomi, sosial, agama, dan tentu saja politik. Banyak orang
memanfaatkan internet, yakni lewat media sosial untuk terlibat di urusan
politik. Banyak contoh yang mudah dipakai untuk bercermin soal ini.
Bojonegoro sebentar lagi akan menggelar Pilkada untuk
memilih bupati dan wakil bupati yang baru. Banyak bakal calon yang
sangat yakin bahwa ia mampu menjadi pemimpin Bojonegoro, lalu mulai
mencari dukungan, mengumpulkan massa, bergerilya, dan membuat tim
sukses. Masa perebutan jabatan politik selalu lebih riuh dan ramai
daripada masa ketika menjalankan program.
Di media sosial misalnya, saat ini sudah mudah ditemui
kandidat mencari dukungan, melakukan aktivitas ini dan itu. Di
pinggir-pinggir jalan sudah banyak baliho berisi gambar-gambar kandidat
dengan aneka tulisan propaganda. Di dunia politik, hal itu bukan sesuatu
yang tabu karena memang begitulah proses yang dibolehkan undang-undang.
Siapapun berhak mencalonkan diri menjadi pemimpin politik asal sesuai
aturan.
Apalagi dengan adanya media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, dan lainnya), political engagement atau
partisipasi politik meningkat tajam. Kini siapapun bisa berkomentar,
berpendapat, menyebar isu, menyatakan tidak setuju, dan pandangan
politik lainnya, yang kemudian ditumpahkan ke timeline media sosial.
Semua bisa dilakukan setiap saat dan dimana saja. Inilah yang disebut
komunikasi politik digital.
Berbeda dengan masa lalu ketika internet belum ada.
Seseorang yang hendak terlibat urusan politik harus mendatangi
“kerumunan”, bisa di tempat diskusi, warung kopi, kampanye di lapangan,
pertemuan-pertemuan parpol dan lain sebagainya. Namun kini dengan
gadget, setiap orang bisa berpendapat, saling serang urusan politik, dan
bisa menggegerkan dunia nyata sehari-hari.
Kita bisa melihat dalam Pilkada DKI Jakarta, betapa
pertarungan di dunia maya lebih dahsyat dibandingkan dengan pertarungan
di dunia nyata. Dan tak hanya di Jakarta, di belahan dunia manapun
seperti Amerika Serikat pun, pertarungan maya sangat sengit.
Nah, masalahnya, apakah Bojonegoro akan menapaki jalan
yang sama? Kondisi masyarakat Bojonegoro memang tentu saja berbeda
dengan Jakarta. Namun, ada pola kesamaan cara masyarakat menggunakan
media sosial di manapun. Yakni, masyarakat mudah percaya informasi meski
belum tentu benar, mudah diarahkan, mudah diajak membenci orang, dan
lain.
Oleh karena itu, akan sangat bijak jika hal itu bisa
dipikirkan sejak dini agar tidak ada konflik politik yang berlebihan di
dunia maya. Salah satunya bisa dimulai dari para aktor-aktor politik,
tim sukses, kandidat atau siapa saja yang berada di “ring satu” kandidat
untuk selalu memegang etika dalam komunikasi politik era digital
sekarang. Kesantunan adalah bukti kedewasaan berpolitik. Pengguna media
sosial di Bojonegoro memang tak sebanyak pengguna media sosial di
kota-kota besar, namun tetap saja hal itu perlu diwaspadai. Dan terlebih
adalah kesantunan komunikasi politik dalam keseharian.
Dan dalam ruang lingkup lebih besar, kesantunan dalam
komunikasi politik adalah sebuah usaha bersama yang perlu diwujudkan.
Karena semua pasti sepakat bahwa politik bukan saja soal memperebutkan
kekuasaan semata, melainkan juga tentang perubahan masyarakat Bojonegoro
menjadi lebih baik. Pilkada bukan sekadar soal
mati-matian memperebutkan kursi jabatan, tapi juga pertarungan gagasan
membawa Bojonegoro lebih baik. Mari sama-sama mendorong hal itu bisa
terwujud. Salam.