Senin, 05 June 2017 06:00:32
Jalan Lurus Kang Samin (10)
Oleh: Muhammad A. Qohhar*
blokBojonegoro.com - Keringat Kang Samin bercucuran. Tenaganya
habis terkuras. Maklum, usianya juga sudah tidak muda lagi dan tengah
menjalankan ibadah puasa Ramadan. Jam telah menunjukkan pukul 10.00 WIB,
namun panas dirasakan sudah seperti pukul 12.00 WIB. Menyengat dan
membakar kulit.
Kang Samin segera menuju ke rumah kecil yang terletak di ujung tanah
Solo Valley yang digarapnya. Tertutup tanaman jagung yang mulai
menjulang, jika dilihat nun kejauhan hanya tampak bagian atap yang
terbuat dari tatanan jerami. Gubuk tersebut cukup strategis untuk
merebahkan badan dan menghindari dari sengatan matahari.
"Alhamdulillah, dingin banget di sini. Semilir angin menghilangkan
tetesan keringat dan pengap." Kang Sabar berbicara sendirian.
Matanya mulai sayu. Kantuk menyerang tidak pandang waktu. Lama-kelamaan
matanya sudah tertutup, tetapi ia masih berada antara sadar dan tidak
sadar. Tidak jauh dari tempatnya itu, suara deru mobil truk pengangkut
pasir mulai turun dan menuju ke bibir bengawan. Saat puasa, masih saja
banyak warga luar desa yang memaksa menambang pasir dengan cara
menyelam. Kebanyakan tidak puasa, karena ia melihat sendiri banyak yang
makan dan minum di samping truk.
"Teyhus... teyhus... teyhus..." ucap seorang penambang pasir dengan
suara cedal tidak seberapa jelas mencoba menjadi kenek truk agar tidak
tercebur di sungai.
Kang Samin masih mendengar suara kenek yang sebenarnya sangat dikenal
itu. Ia bertetangga. Kelihatannya ia tetap berpuasa, karena tugas utama
menambang hanya bagian menaikkan pasir dari perahu ke bak truk. Namanya
Mulyo alias Si Bindeng, karena cara bicaranya seperti di dalam hidung,
mengaum dan terkadang susah dipahami.
"Brak... brak... brakkk..."
Terdegar suara keras skop seperti memukul bak truk. Mulyo
berteriak-teriak memaki sopir truk, karena ia seperti berbicara dengan
cara cedal menirukan ucapan Mulyo. Mungkin ia tersinggung atas ucapan
Mulyo yang menganggapnya tidak cekatan mengemudi, karena beberapa kali
belum bisa memarkirkan truk dengan tepat. Apalagi panas begitu menyegat,
membuat emosi mudah tersulut.
"Bicaramu jangan sembarangan ya, kamu menghina saya. Bangsyat," umpat
Mulyo dengan lantang sambil setelah itu terdengar suara skop dipukulkan
ke bak truk berulang-ulang.
Suara tidak kalah lantang dan berani juga diteriakkan sopir truk yang
kelihatannya baru mengambil pasir. Sebab, penambang tidak seberapa
kenal. Karena, jika sudah sering ke lokasi tambang pasir, pasti Kang
Samin juga banyak kenal, karena sering bertemu ketika tengah berada di
telatah atau lahan tepi bengawan.
"Bangsat sendiri. Mau mengajak apa kamu? Saya tidak menghina, serius
aku," teriak sang sopir dengan cara bicara juga sama dengan Mulyo, cedal
dan suara tidak seberapa jelas karena di dalam hidung.
"Lha itu, suara bindeng (sebutan warga untuk suara di dalam hidung dan
tidak seberapa jelas) yang kamu lakukan, menghinaku," celetuk Mulyo.
Suara gebrak menggebrak makin keras. Kang Samin beranjak dari tempat
merebahkan diri. Ia bergegas ke lokasi tambang pasir tempat truk
berhenti dan akan memuat pasir. Beberapa penambang lain yang baru datang
dengan perahu bermuatan penuh pasir juga mulai mendekat. "Sudah-sudah,
ada apa ini? Puasa-puasa harus saling menahan diri," ucap Kang Samin
dengan lantang.
Mendengar perkataan Kang Samin yang sambil berteriak itu, dua orang
yang tengah beradu mulut tersebut terhenyak. Mereka diam sejenak. Lalu
sama-sama memandang Kang Samin. "Dia ini Kang menghina dan meremehkanku.
Suaraku yang bindeng ini ditirukan," celetuk Mulyo sambil mengacungkan
jari ke sopir truk.
"Tidak Kang, saya tidak menghina. Karena, suara saya kalau berbicara
juga bindeng, tidak seberapa jelas," jawab sopir dengan logat dan suara
terdengar seperti yang diucapkan Mulyo. Bindeng.
Kang Samin menahan tawa. Sangat dalam. Padahal, ia mau tertawa
terkekeh, tetapi menghormati kedua orang yang sama-sama bindeng
tersebut. Dirinya hanya tersenyum dan memandang dua orang di depannya
saling bergantian. Ia mendekat dan meminta keduanya bersalaman, karena
kejadian ini hanya salah sangka saja.
"Kalian berdua ini sama-sama bindeng, jadi tidak mengolok. Sudah, segera saling memaafkan," pinta Kang Samin.
Sang sopir segera mengulurkan tangan untuk meminta berjabat tangan.
Mulyo juga segera menyambut tangan tersebut dan segera menjabatnya. Ia
juga meminta maaf atas kesalahpahaman ini. Mereka akhirnya bermaafan dan
menuju ke samping gubuk Kang Samin untuk berteduh. Sedangkan Kang Samin
sambil masih menahan tawa masuk ke dalam gubuk untuk kembali merebahkan
badan.
"Salah sangka bisa bahaya kalau tidak segera terselesaikan. Bisa memicu
pertengkaran bahkan lebih." Kang Samin merenung sambil mencoba kembali
memejamkan mata. Sebab, kantuk yang sedari tadi hampir membuatnya
tertidur, seakan sirna.
"Bismikallahumma ahya waamut." [mad]
*Penulis: reporter blokMedia Group (blokBojonegoro.com dan blokTuban)