Selasa, 18 April 2017
Oleh: Khozanah Hidayati*
Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini.
Peringatan yang merujuk pada lahirnya Raden Ajeng Kartini, 21 April
1879. Kartini hidup pada zaman ketika kekuatan budaya masyarakat sangat
permisif memandang perempuan. Zaman ketika budaya feodalisme dan
patriaki masih dijunjung tinggi di bumi Nusantara. Zaman ketika
perempuan harus menanggung “double colonisation” (Kirsten Holst Petersen
& Anna Rutherford, Beginning Postcolonialism, 2008). Penjajahan
dari bangsa asing dan penjajahan dari bangsa sendiri yakni budaya
patriaki.
RA Kartini berani berteriak lantang. Ia berusaha mendobrak kekakuan
sehingga lahirlah mainstream paradigma baru terhadap perempuan di
Indonesia. Namanya pun hingga kini terus dikenang sebagai pelopor
pejuang emansipasi wanita Indonesia. Ini adalah bukti perhargaan bangsa
Indonesia terhadap perjuangannya.
Kisah hebat perjuangan Kartini tersebar ke seluruh dunia berkat surat
menyuratnya dengan sahabat-sahabat penanya di benua Eropa seperti Stella
Zihandelaar, Ny. Abendanon dan Ny. Van Kol. Yang kemudian pada tahun
1911 oleh J.H. Abendanon surat-surat tersebut dibukukan menjadi sebuah
buku yang dalam bahasa Belanda berjudul “Door Duisternis Toot Licht”
atau dalam bahasa Indonesia artinya “Dari gelap menuju cahaya” yang
kemudian oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis
Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan
surat-menyuratnya.
Ternyata kalimat “Dari Gelap Menuju Cahaya” adalah sebuah penggalan
dari ayat suci Al Qur’an Surat Al Baqoroh 257 yakni “Orang-orang beriman
dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya” atau dalam bahasa aslinya
“minazh-zhulumaati ilannuur”. Kalimat “minazh-zhulumaati ilannuur” yang
dalam bahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht, itu sebenarnya berarti
“Dari Kegelapan Menuju Cahaya”, jadi bukan “Habis Gelap Terbitlah
Terang”. Walau terlanjur diartikan seperti itu tidak menghilangkan
pemikiran R.A. Kartini yang menginginkan perubahan dari kegelapan menuju
cahaya terang.
Bagaimana Islam menginspirasi RA. Kartini dalam perjuangannya
mengusahakan emansipasi kaum perempuan di Nusantara ini? Kalau membaca
surat-surat RA. Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda,
terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme.
Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai
Islam yang telah menginspirasi dan memberi panduan kepada RA. Kartini
dalam perjuangannya.
Surat-surat RA. Kartini kepada sahabat-sahabat penanya di Belanda yang
notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene
merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus orientalis itu, dalam
surat-surat Kartini beliau sama sekali tidak menceritakan pertemuannya
dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang (lebih dikenal dengan
sebutan Kyai Sholeh Darat). Namun alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh,
cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak menuliskan kisah pertemuan RA. Kartini
dengan kyai tersohor dan guru para ulama terkemuka di Nusantara ini.
Takdir, menurut Ny. Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai
Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati
Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA
Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah
Kyai Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir surat
al-Fatihah. RA. Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Kyai Sholeh
Darat.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. RA
Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat
memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap
kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini RA. Kartini hanya tahu membaca Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui
Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini
merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna
surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah,
menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela.
Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah.
Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al
Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Ny. Fadhila menulis Kyai Sholeh tak
bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah
kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al
quran ke dalam Bahasa Jawa.
Kyai Sholeh Darat Semarang adalah guru para ulama besar di Indonesia
diantaranya: KH. A. Dahlan (pendiri muhamadiyah), KH. Hasyim Asyari
(pendiri Nahdlatul Ulama NU), KH. Kholil Rembang, KH. Munawir Krapyak
Yogyakarta, Kyai R. Dahlan Tremas dan kyai-kyai lain yang kemudian
menjadi pioneer atau pengasuh di masing-masing pesantren yang
didirikannya.
Dalam pertemuan itu, RA. Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan
karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak
diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi
melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar
larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf
“arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab
Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan
aksara Arab pegon. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A.
Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati
Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun
maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai
kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam
bahasa Jawa yang saya pahami.”
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA. Kartini menemukan ayat
yang amat menyentuh nuraninya yaitu: Orang-orang beriman dibimbing Allah
dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata
“Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door
Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan
menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku
kumpulan surat-menyuratnya.
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al-Fatihah sampai Surat
Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu
luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak
selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual.
Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat
Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon: “Sudah lewat
masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang
terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat
Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah
dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut
disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid
kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan”.
Dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga
menulis: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang
selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat,
dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”
Lalu dalam surat ke Ny. Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini
menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba
Allah.”
Hal-hal tersebut di ataslah yang sebenarnya membesarkan nama RA.
Kartini di samping sebagai pelopor utama emansipasi wanita di Nusantara,
beliau juga berjasa dalam mempelopori upaya menggerakkan Kyai Sholeh
Darat untuk menerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa dengan huruf arab
pegon dan bisa dinikmati dan dimengerti makna per makna dari Ayat Suci
Al-Qur’an.
Perjuangan RA. Kartini untuk diadakannya terjemahan kitab Al Qur’an ke
dalam bahasa lokal perlu dihidupkan lagi semangatnya sehingga kandungan
dalam kitab suci Al Qur’an bisa dihayati, dimengerti kemudian diamalkan
sebagaimana tujuan diturunkannya kitab ini adalah agar dijadikan pedoman
bagi umat manusia.
Perjuangan RA. Kartini yang menggerakkan Kyai Sholeh Darat
menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon
perlu dimasyarakatkan agar sejarah ini tidak terhapus dan tentunya bisa
ditauladani oleh generasi kini dan generasi mendatang. Sehingga RA.
Kartini tidak saja dikenal dan dikenang sebagai pejuang emansipasi
wanita semata namun juga dikenang dan dikenal sebagai pelopor untuk
diadakannya tafsir Al Qur’an dalam bahasa lokal (KH, 06 April 2017).
*Penulis adalah anggota FPKB DPRD Jatim.