Rabu, 31 Oktober 2018 18:37:20
Anto belum genap berusia 40 tahun saat tiba-tiba mengeluh adanya rasa
tidak enak di bagian dada. Nyeri dada itu semakin berat ketika sedang
beraktivitas dan akhirnya Anto segera dilarikan ke rumah sakit.
Ayah
dua anak ini ternyata mengalami serangan jantung dan harus menjalani
kateterisasi jantung. Semuda usia 40 tahun terkena serangan jantung dan
harus kateterisasi?
Saat ini, banyak orang berpikir bahwa
penyakit jantung identik dengan usia tua sehingga kebanyakan usia
produktif merasa aman. Mereka pun cenderung tidak pernah memeriksakan
jantung. Pola hidup yang tidak sehat juga tetap dijalankan kalangan
generasi muda.
Prevalensi penyakit kardiovaskular cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. WHO (World Health Organization)
memprediksi, penyakit kardiovaskular akan menyebabkan kematian lebih
dari 23 juta jiwa per tahun pada 2030.
Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2013, penyakit jantung
koroner sudah mencapai 12,1 persen dari populasi. Yang lebih
mengejutkan, riset itu menyatakan 39 persen di antaranya merupakan
kelompok berusia kurang dari 44 tahun, sedangkan 22 persen berasal dari
kelompok usia 15 hingga 35 tahun.
Modernisasi yang terjadi
secara perlahan namun pasti berdampak pada pergeseran kelompok usia
penderita penyakit jantung dari usia senja ke usia produktif.
Berbagai
kemudahan dan kenyamanan yang kita dapatkan dari teknologi yang kian
maju justru membuat pola hidup menjadi tidak sehat.
Pekerja usia
produktif cenderung memiliki waktu kerja yang panjang, bekerja di
belakang meja (sedikit bergerak), tidak mengkonsumsi makanan yang sehat,
dan tidak berolahraga.
Dokter Spesialis Jantung Siloam
Hospitals Kebon Jeruk yang juga tergabung dalam Siloam Heart Institute,
dr. Antono Sutandar, Sp.Jp-K mengatakan bahwa pola hidup yang tidak
sehat dan stres memiliki peran cukup besar menyebabkan penyakit jantung
pada usia muda.
Berdasarkan Interheart studi, terdapat 9 faktor
risiko yang dapat meningkatnya penyakit jantung koroner (PJK), yaitu
kolesterol tinggi, merokok, stres, diabetes, tekanan darah tinggi,
abdominal obesitas (perut lebih besar daripada bokong), tidak
mengkonsumsi alkohol sama sekali, tidak berolahraga, serta kurang
mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan.
“Sejak Perang Dunia II,
kita mengalami perubahan diet yang drastis untuk dapat memenuhi
kebutuhan pangan. Bahan pangan yang semula merupakan hasil pertanian
sekarang bergeser menjadi hasil olahan industri seperti tepung terigu
dan gula. Porsi makanan olahan di dalam kehidupan kita juga semakin
meningkat. Perubahan pola inilah yang makin menyebabkan penyakit jantung
bergeser ke usia yang lebih muda,” katanya kepada Kompas.com, Rabu
(3/10/2018).
Menurut dr. Antono, PJK bisa dicegah dengan
memperhatikan faktor-faktor risiko tersebut. Namun, terdapat beberapa
faktor risiko yang tidak dapat kita ubah seperti faktor keturunan, usia,
dan jenis kelamin.
Seseorang yang memiliki anggota keluarga
dengan riwayat PJK atau mati mendadak sebelum usia 55 tahun memiliki
risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit jantung.
“Di samping
itu, semakin bertambahnya usia, risiko untuk terjadinya semua bentuk
penyakit kardiovaskular akan meningkat pula. Dan hanya pada pria, risiko
terkena PJK meningkat menjadi dua kali lipat. Orang-orang dengan faktor
risiko seperti di atas sebaiknya melakukan skrining jantung lebih
awal,” tambahnya.
Skrining jantung awal yang bisa dilakukan
adalah dengan ECG stress test. Ini merupakan prosedur sederhana di mana
pasien diminta melakukan treadmill sambil irama jantungnya direkam
dengan ECG.
ECG stress test ini memiliki akurasi 60-70 persen
untuk mengetahui adanya penyempitan pada pembuluh darah jantung. Jika
didapatkan kelainan pada ECG stress test pasien akan diminta untuk
melakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti stress echo, CT scan jantung,
tes nuklir, atau kateterisasi.
dr. Antono menjelaskan bahwa
perkembangan teknologi kesehatan dapat menurunkan angka mortalitas
pasien yang masuk dengan serangan jantung. Namun, pencegahan atau
diagnosa dini penyakit jantung merupakan lini pertama yang harus
diperkuat.
Pil in the pocket Bento dan
Toni merupakan sahabat karib. Saat sedang memancing bersama, Bento
mengeluhkan rasa tidak nyaman pada dada kirinya. Nyeri tersebut bisa
ditunjuk dengan satu jari dan berkurang jika dia sedikit membungkuk.
Toni
lalu memberikan cedocard kepada Bento. Ia mengatakan, pil dapat
menghilangkan nyeri dada. Tak lama setelah meminum obat tersebut, Bento
merasa pusing dan akhirnya pingsan.
Dari kisah tersebut, niat
baik saja tidak cukup untuk membantu sesama, apalagi terkait nyeri di
dada. Jika salah penanganan, bisa-bisa penderita justru mengalami
kondisi lebih buruk.
Cedocard atau isosorbide dinitrat adalah
obat yang bekerja untuk merelaksasi pembuluh darah jantung. Biasanya
obat ini diletakkan di bawah lidah dan digunakan pada pasien dengan
angina (nyeri dada karena penyempitan pembuluh darah jantung).
Sayangnya, pengetahuan masyarakat yang minim berakibat banyaknya kesalahan dalam pemberian obat ini.
“Delapan dari sepuluh orang dengan nyeri dada yang meminum cedocard ternyata bukan merupakan serangan jantung,” ujar dia.
Cedocard
yang digunakan tanpa indikasi yang tepat dapat mengakibatkan penurunan
tekanan darah yang drastis sehingga menyebabkan kondisi pingsan atau mau
pingsan.
Pemberian 2 butir aspirin 100 miligram (mg) memberikan
efek samping yang lebih sedikit daripada cedocard. Namun, pemberian
obat tersebut hanya untuk orang yang tidak memiliki alergi terhadap
aspirin.
dr. Antono menjelaskan, nyeri dada penyakit jantung
memiliki karakteristik yang khas. Nyeri tersebut harus terjadi pada saat
beraktivitas, peningkatan aktivitas, atau emosi tinggi.
Penyebabnya, jantung bekerja lebih keras saat beraktivitas dibandingkan saat beristirahat.
Nyeri
dada yang terjadi saat beristirahat namun tidak terjadi saat
beraktivitas atau emosi tinggi bukanlah ciri khas nyeri dada karena
jantung.
Ciri khas berikutnya, nyeri dada khas jantung biasanya tidak bisa ditunjuk dengan 1 jari dan bukan nyeri di permukaan.
“Biasanya
ada rasa tidak nyaman yang berasal dari dalam (belakang tulang dada)
dan terasa seperti ditekan oleh balok kayu yang berat. Nyeri dada ini
juga tidak dapat berkurang dengan perubahan posisi, menarik napas,
ataupun asupan makanan.
Nyeri dada ini juga bisa disertai dengan
penjalaran ke rahang, ulu hati, tangan kiri atau kanan, sampai ke
punggung,” kata dr. Antono. Nyeri tersebut berlangsung minimal sampai 5
menit. Nyeri dada yang terjadi kurang dari 1 menit walaupun terjadi di
dada sebelah kiri, bukan merupakan nyeri dada khas jantung.
“Jika
Anda mengalami nyeri dada yang tidak hilang lebih dari 30 menit
kemudian semakin berat dengan aktivitas, saya anjurkan Anda segera
datang ke UGD terdekat,” ujarnya.
Tahapan Penyakit Jantung Koroner dr.
Antono Sutandar, Sp.JP-K yang juga menjabat sebagai Vice Chairman
Siloam Heart Institute menjelaskan bahwa penyakit jantung koroner
terdiri atas tiga fase.
Fase pertama merupakan fase penyempitan
pembuluh darah jantung karena penumpukan kolesterol. Pada fase ini,
pasien bisa ditangani dengan obat-obatan saja dan perubahan pola hidup
untuk mengontrol faktor risiko yang ada. Namun, apabila penyempitan yang
terjadi cukup parah maka dapat dilakukan pemasangan cincin ataupun
bedah jantung (bypass) untuk mencegah terjadinya serangan jantung.
Fase
kedua terjadi jika ada gumpalan darah yang menyumbat dan menyebabkan
serangan jantung. Pada fase ini belum terjadi kerusakan otot jantung
sehingga perlu dilakukan pemberian fibrinolitik atau primary angioplasty
secepat mungkin untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat untuk
mencegah terjadinya kerusakan otot jantung.
Sementara itu, fase ketiga terjadi ketika serangan jantung sudah
mengakibatkan kerusakan otot jantung. Pengobatan pada fase ini
tergantung dari berapa besar dan lama kerusakan otot jantung yang
terjadi. Penanganan bisa dilakukan dengan obat-obatan, angioplasty atau
bedah jantung untuk membuka pembuluh darah dan menyelamatkan otot
jantung yang masih dapat diselamatkan.
Jumlah operasi jantung di
Indonesia kini sekira 4.000 kasus per tahun. Jumlah ini masih tergolong
sangat sedikit dibandingkan dengan potensi kasus bedah jantung yang
berjumlah lebih kurang 20.000 kasus per tahun.
Studi juga
menerangkan bahwa sekira 2.000 pasien memilih untuk melakukan prosedur
operasi di luar negeri. Hal ini menggambarkan ketidakpercayaan
masyarakat Indonesia terhadap kualitas pelayanan jantung di Indonesia.
Berdasarkan
situasi inilah, Siloam Heart Institute (SHI) didirikan oleh Siloam
Hospitals Group yang berpusat di Siloam Hospitals Kebon Jeruk. SHI
diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia. Dengan
begitu, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan jantung yang komprehensif
dan lengkap yang sama baiknya walaupun berada di dalam negeri.
*Sumber: kompas.com